weblogUpdates.ping deddynoer: blog tutorial dan everything http://deddynoer.blogspot.com/ deddynoer tutorial blog dan everything: deddynoer: ISLAM Merupakan Rahmat, Bukan Ancaman

2.10.2009

deddynoer: ISLAM Merupakan Rahmat, Bukan Ancaman

Oleh : Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi


Saya tidak lupa menyebut satu hal yang nantinya menjadi pijakan tema sekarang ini, yaitu rahmat Islam dan rahmat Nabi Islam. Sungguh saya bias merasakan dan melihat rahmat ada pada masyarakat muslim di negeri yang baik ini. Mereka mencintai Allah dan Rasul–Nya, serta mencintai kebenaran yang datang dari Rabb dan Rasul–Nya. Ini adalah keistimewaan yang tiada bandingnya. Sebuah karakter yang sedikit sekali orang yang menghiasi diri dengannya pada masa sekarang ini. Dan memang semakin jauh masa dari masa nubuwwah, maka kebaikan semakin sedikit.

Seperti yang dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW:
“Artinya : Tidak ada satu masa (yang datang), kecuali masa setelahnya itu lebih buruk darinya, sampai kalian menjumpai Rabb kalian [Hadits Riwayat At-Tirmidzi, No. 2132]

Maka, saya ucapkan selamat kepada Anda sekalian, atas karakter yang baik ini, ketundukan kepada Allah dan Rasul–Nya. Dan saya tidak mentazkiah (memuji) Anda sekalian dihadapan Alloh Jalla Jalaluhu. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang bergejolak dalam dada. Sesuatu ini nampak kontradiktif, akan tetapi merupakan sebuah kebenaran jika dijelaskan dan diterangkan. Hal tersebut tentang Islam adalah rahmat, Rabb kita adalah Ar–Rahim (Maha Penyayang) dan Nabi kita adalah rahmat bagi seluruh alam.

Adapun sisi kontradiktif yang ada dalam benak saya, bahwasanya masalah–masalah di atas termasuk perkara–perkara badahiy yang jelas dan lebih jelas dari matahari pada siang hari. Kemudian tiba–tiba kita harus menjelaskannya lagi sbg wujud pembelaan terhadap Islam, penjelasan atas pemutarbalikkan kenyataan tentang Islam, dan penjelasan terhadap sebuah kondisi saat pandangan terhadap Islam sudah berubah. Tidak disangsikan lagi, ini merupakan sesuatu yang merisaukan hati dan pikiran, kita menyaksikan fakta yang kontradiktif untuk menjelaskan sebuah permasalahan yang sudah diimani, permasalahan yang kelas, yaitu agama ini (Islam) adalah rahmat Allah Maha Penyayang dan Nabi Kita Muhammad Shalallohu 'alaihi wa sallam juga seorang penyayang. Karenanya, saya memohon kepada Allah agar berkenan menolong kita dalam memahami makna ini dan mengamalkannya.

Nash–nash dari Al–Qur’an dan Sunnah Nabbawiyah yang menguatkan topik ini dan memantapkan penjelas ini sangatlah banyak, tidak terhitung jumlahnya. Akan tetapi, kita harus menyebutkan sebagian, agar hati menjadi tenang dalam kebenaran. Dan akal pikiran serta jiwa merasa bahagia dengan hidayah. Nash yang paling agung yaitu, Allah mensifati diri–Nya sendiri bahwa Dia Dzat Yang Maha Penyayang. Sifat dengan nama ini, banyak terdapat di dalam Al–Qur’an. Cukuplah bagi Anda, sebuah nash yang Anda baca berulang kali dalam shalat sehari semalam sebanyak lebih dari sepuluh kali, agar pemahaman terhadap makna ini tertanam dan tertancap dalam hati dan perasaan Allah ‘Azza Wa Jala berfirman:
"Artinya : Dengan menyebut Nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Segala Puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. [Al–Fatihah : 1–3]

Anda mengulanginya pada tiap raka’at, saat membaca basmalah dan membaca ayat kedua (dari sura Al–Fatihah), sehingga gambaran makna ini dan juga realisasinya, baik secara ilmiah atau amaliah bisa dilakukan (secara bersamaan) dalam satu waktu.

Allah juga mensifati Nabi–Nya Shalallohu 'alaihi wa sallam dengan sifat rahim (penyayang) itu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
"Artinya : Nabi Muhammad amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang–orang mu’min" [At–Taubah : 128]

Nabi kita rahim (penyayang), sebagaimana juga Rabb kita Rahim (Maha Penyayang). Akan tetapi, rahim (kasing sayang) nya Nabi Shallallohu 'alaihi Wa Sallaam penghulu seluruh Nabi Adam, sesuai dengan kebesaran beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam dan sifat kemanusiaannya. Sedangkan Rahim (penyayang) nya Allah sesuai dengan keagungan–Nya dan kesempurnaan–Nya. Jadi rahmat (kasih sayang) merupakan sifat Allah dan sifat Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam. Allah dan Rasul–Nya menginginkan agar rahmat ini menjadi nyata di muka bumi. Karena din (agama) ini merupakan din rahmat Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
"Artinya : Dan kami tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam". [Al–Anbiya : 107]

Allah tidak akan mengatakan “… sebagai rahmat bagi kaum Mukminin, “namun Allah mengatakan : “rahmat bagi seluruh alam,” bukan hanya manusia ; bahkan rahmat ini terasa juga pada alam lain, yaitu alam jin dan malaikat. Dan Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan tentang dirinya:
"Artinya : Aku adalah rahmat yang dihadiahkan".

Banyak nash dari Nabi Shalallohu 'alaihi wa sallam yang menegaskan kepada kaum mukminin, kaum yang menyambut seruan Alloh dan Rasul–Nya, yang mengimani hukum Allah dan Rasul–Nya, agar menjadi orang–orang yang memiliki rasa kasih saying dan saling menyayangi, sehingga mereka akan disayangi oleh Allah ‘Azza wa Jalla, bukan sekedar rahmat yang berbentuk angan–angan yang diimpikan oleh hati dan dilantunkan oleh lisan. Kalau hanya sekedar itu, maka ini bias dilakukan oleh semua orang. Allah ‘Azza Wa Jalla berfirman:
"Artinya : Hai Orang–orang yang beriman, mengapa kamu mengatakan apa yang tidak kamu perbuat. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa–apa yang tiada kamu kerjakan". [Ash–Shaf : 2-3]

Allah menginginkan kita menjadi orang–orang yang menyayangi dan saling menyayangi, lagi disayangi ; bukan hanya sekedar ucapan, akan tetapi (dibuktikan) dengan amal ; bukan sekedar ungkapan, akan tetapi (diwujudkan) dengan perbuatan. Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Orang–orang yang menyayangi akan disayang oleh Dzat Yang Maha Penyayang. Sayangilah orang yang ada di muka bumi, niscaya Dzat yang ada di atas langit (Allah ‘Azza Wa Jalla) akan menyayangi kalian".

Nabi juga bersabda:
"Artinya : Berbuat kasih sayanglah kalian, pasti kalian akan disayangi". [Hadits Riwayat Imam Ahmad]

Sabda Muhammad Shalallohu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Orang yang tidak memiliki rasa kasih–sayang, tidak akan disayang"[Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Muslim]

Semua nash di atas dan yang lain menegaskan makna rahmat, supaya membumi dalam kehidupan dan sistem yang dilaksanakan ; saling menyayangi satu dengan yang lain, saling berlemah lembut, saling menolong, terutama kepada orang yang diberi taufik oleh Allah, dan diberi petunjuk untuk memeluk Islam dan mengikuti Sunnah Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam.
Rahmat tidak akan bias diwujudkan secara benar, kecuali dengan ilmu yang bermanfaaat berlandaskan Al–Qur’an dan Sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Adapun rahmat tanpa dilandasi ilmu, tetapi dilandasi kejahilan, hanyalah sebuah perasaan yang berkutat di dalam dada, terkadang tidak sesuai dengan tempatnya ; menjadi tidak jelas, dan ketidakjelasan ini membuahkan kesalahan besar.
Oleh karena itu Ahlus Sunnah itu berasal dari ahli ilmu, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Taimiyyah :”Ahlus Sunnah adalah orang yang paling tahu tentang Al–Haq (Kebenaran) dan paling sayang terhadap makhluk”.

Rasa kasih sayang ini menuntut kita agar memberikan nasihat kepada orang lain, berlemah lembut kepada mereka, dan menuntut anda agar memberikan kesempatan kepada mereka untuk bertaubat kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kembali ke jalan Allah sebelum mereka meninggal.

Rasa kasih sayang (rahmat) ini menuntut Anda untuk memiliki rasa kepedulian (terhadap keselamatan makhluk) yang Anda ambil dari sifat Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa sallam yang diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada beliau Shalallohu 'alaihi wa sallam yaitu:
"Artinya : ... (Rasulullah) sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang–orang mu’min." [At–Taubah : 128]

Semangat ini semestinya diiringi kelembutan dan kasih–sayang, yang merupakan ciri terbesar dan paling agung din (agama) ini, bukan kekasaran dan kekakuan, tidak dibarengi sikap ekstrim atau sikap berlebihan, tetapi dengan kelembutan yang menjadi symbol agama ini.

Agar tidak ada orang yang berprasangka dan menduga bahwa rahmat (rasa kasih–sayang) ini hanya untuk kaum muslimin saja, atau berlaku hanya dikalangan kaum muslimin (saja), sehingga menyeretnya kepada kebatilan, maka saya perlu menyebutkan beberapa nash dari hadits Nabi yang menerangkan rahmat ini dan cakupannya. Rahmat ini bukan hanya bagi kaum Muslimin saja, akan tetapi juga bagi orang–orang kafir ; bukan hanya untuk manusia, tetapi juga untuk bangsan hewan sekalipun.

Nabi Muhammad Shallallohu 'alaihi wa sallam adalah pemimpin para da’i (mubaligh) dan pemimpin orang–orang yang bersabar terhadap berbagai macam siksa dan cercaan. Beliau Shalallohu 'alaihi wa sallam bersabar menghadapi permusuhan dan penyiksaan, serta mendoakan kebaikan atas pelakunya. Ketika orang–orang kafir dahulu melukai kepala beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam, membuat beliau mengeluarkan darah, dan saat mereka mematahkan gigi beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam, Nabi Shalallohu 'alaihi wa sallam tidak berdoa kepada Allah ‘Azza wa Jalla agar memberikan balasan buruk kepada mereka, tetapi beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam hanya menginginkan rahmat buat mereka, karena beliau adalah rahmat. Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam berdoa saat itu:
"Artinya : Ya Allah. Ampunilah kaumku, karena mereka itu tidak mengetahui" [Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim]

Padahal beliau Shallallohu 'alaihi wa sallam disiksa dan disakiti oleh mereka. Bahkan Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Tidak ada seorang pun yang disakiti di jalan Allah sebagaimana (sebesar) gangguan yang menimpaku"

Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam dengan kesabarannya mengatakan:
"Artinya : Semoga Allah mengeluarkan kaum yang mentauhidkan Allah dari tulang punggung (keturunan) mereka"

Kesabaran beliau Shalallohu 'alaihi wa sallam berperan besar dalam penyebaran din Islam, menempati andil besar dalam membimbing umat melalui amal nyata, bukan sekedar teori sebagaimana yang dikatakan pada masa ini. Bahkan, Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam rahim (memiliki rasa saying) dalam situasi peperangan dan sedang berhadapan dengan para musuh Islam. Peperangan dalam Islam bukanlah perang permusuhan, akan tetapi perang penebusan ; peperangan untuk menebarkan sendi–sendi kasih sayang. Membunuh musuh bukanlah tujuan utama dan pertama, akan tetapi itu merupakan pilihan terakhir. Tawaran pertama adalah memeluk agama Islam, kedua adalah membayar jizyah (pembayaran sebagai ganti jaminan keamanan), dan ketiga adalah tidak mengganggu kaum Muslimin. Jika orang–orang kafir tidak mempedulikannya, tetap mengganggu dan menyakiti kaum muslimin, maka mereka harus diperangi, dan ini pun harus dengan perintah dari penguasa dan para ulama yang saling bahu membahu dalam menolong din Allah ini. Tetapi, kalau yang berinisiatif mengobarkan peperangan adalah individu–individu, maka perlu dimengerti, bahwa masalah memobilisasi perang bukanlah hak perindividu. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
"Artinya : Dan perangilah di jalan Allah orang–orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kami melampaui batas, karena sesungguhnya Allah tidak menyukai orang–orang yang melampaui batas" [Al–Baqarah : 190]

Inilah sendi–sendi din Islam dalam keadaan damai maupun perang, juga ketika sedang berhadapan dengan musuh. Nabi Shallallohu 'alaihi wa sallam senantiasa mengarahkan para komandan supaya berbuat rahmat (kasih sayang) dan menuju rahmat (kasih sayang) dan menuju rahmat (kasih sayang). Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Janganlah kalian membunuh anak kecil, orang yang sudah renta, jangan membunuh para rahib di gereja, dan janganlah kalian mematahkan pepohonan"

Allohu Akbar !!! inilah akhlak Rasulullah Shalallohu 'alaihi wa sallaam, inilah karakter beliau Shallallohu 'alaihi wa sallaam. Rasulullah Shallallohu 'alaihi wa sallam sama sekali tidak pernah melakukan pembunuhan membabi buta, apa lagi menjadi tujuan, atau menjadi sesuatu yang digemari atau yang beliau perintahkan ?

Pembunuhan dengan membabi buta tidak pernah diridhai oleh Rabb kita dan Rasul kita Muhammad Shalallohu 'alaihi wa sallam. Bagaimana mungkin meridhai ; Pembunuhan dengan membabi buta, hanya akan mendatangkan masalah dan tertumpahnya darah yang sangat di sesalkan hati nurani manusia, apa lagi oleh Allah dan Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam.

Dengan akhlak dan sendi-sendi ini, Islam mendapatkan keutamaan, Islam menjadi yang terdepan dalam memiliki peran dalam menancapkan pondasi, atas apa yang mereka sebut menyuarakan hak-hak asasi manusia dan yang mereka sebut hak-hak asasi hewan. Sebelum ilmu pengetahuan mengalami kemajuan, sebelum peradaban barat, dan sebelum sarana komunikasi mengalami perkembangan yang saat ini di rasakan oleh berbagai belahan dunia, Islam terlebih dahulu menyuarakan hak-hak manusia dan hak-hak hewan.bagaimanapun mereka berusaha mendahului, berusaha mengunggulkan peradaban mereka dan berusaha merealisasikan makna-makna dan ajaran ajaranini,maka islam tetap yang terdepan.

Islam terdepan dalam menanamkan sendi-sendi yang luhur, dan selanjutnya merealisasikanya dalam kehidupan nyata, dalam sejarah masa lalunya, sekarang ini dan pada masa yang akan datang, Insya Allah. Bukankah Rasullulah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kalian berbuat baik kepada segala sesuatu. Jika kalian membunuh (melaksanakan hukum Qishash) maka perbaikilah cara pelaksanaanya.Jika kalian melakukan penyembelihan hewan,maka berbuat baiklah dalam penyembelihan. Hendaklah salah seorang di antara kalian menajamkan pisaunya dan menyenangkan binatang sembelihanya." [Hadits Riwayat Imam Tirmidzi, Imam Nasa'i , Abu Dawud, Ibnu Majah dan Imam Ahmad]

Inilah akhlak yang di tampilkan dalam mu’amalah seorang muslim, mu’amalahdalam Islam, hingga dalam hal pemotongan hewan. Lalu bagaimana dengan mu’amalah dengan manusia yang di terangkan sifatnya oleh Allah:
"Artinya : Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak–anak Adam". [Al-Israa’ : 70]

Dengan apa Allah memuliakan mereka ? Dengan apa Allah mengunggulkan mereka ? Tidak lain, kecuali dengan menunjukkan mereka kepada diri Allah yang haq, memberikan petunjuk kepada mereka agar menjadi da’i menuju jalan Allah ‘Azza wa Jalla. Sehingga mereka menjadi orang yang shahih dan mengadakan perbaikan bagi yang lain. Ini merupakan penghargaan yang teramat tinggi. Ini pulalah yang masih banyak, bahkan kebanyak hilang dari manusia, kecuali manusia mau bertaubat kepada Allah. Dan ini, jika Allah tidak memberikan petunjuk, maka tidak akan ada yang memberikan petunjuk selain Allah ‘Azza wa Jalla.

Supaya gambaran ini menjadi sempurna dan kebenaran menjadi jelas, saya perlu mengingatkan, bahwa makna rahmat (kasih–sayang) dan lemah lembut tidaklah bertentangan dengan ‘izzah (keperkasaan) seorang muslim. Rasa kasih–sayang seorang muslim tidak boleh menyebabkan tunduk, kecuali kepada al haq (kebenaran) dan (tidak boleh) merendahkan diri, kecuali kepada Muslimin. Rasa kasih–sayang memiliki tempat tersendiri, begitu juga dengan ’izzah. Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Artinya : Ada tiga hal, barangsiapa memiliki ketiga hal ini, maka dia akan merasakan manisnya iman … (lalu beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam menyebutkan, salah satunya yaitu) …. Tidak mau kembali kepada kekufuran setelah Allah menyelamatkannya dari kekufuran sebagaimana dia tidak mau dicampakkan ke dalam api" [Hadits Riwayat Imam Bukhari dan Imam Muslim]

Ini termasuk ‘izzah seorang muslim dengan keimanannya, tidak tunduk kepada selain Allah ‘Azza Wa Jalaa. Dan Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam juga bersabda:
"Artinya : Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah, daripada seorang mukmin yang lemah. Dan masing–masing memiliki kebaikan. Masing mendapatkan kebaikan sesuai dengan kekuatan (yang dimilikinya)".

Jadi kekuatan, perasaan tinggi, merasa perkasa, (itu) memiliki tempat tersendiri. Sama sekalit tidak bertentangan dengan ketundukan seorang muslim kepada Rabb–Nya, bukan tunduk kepada musuhnya. Sifat kasih–sayang ini tidak bertentangan dengan perintah Allah kepada Nabi–Nya:
"Artinya : Hai Nabi, perangilah orang-orang kafir dan orang-orang munafik ,dan bersikap keraslah terhadap mereka.tempat mereka adalah neraka jahanam, dan itu adalah seburuk-buruk tempat kembali" [At-Tahrim :9]

Juga tidak bertentangan dengan sifat yang diberikan Allah Subhanahu wa Ta'ala kepada kaum mukminin, bahwa mereka itu:
"Artinya : Muhamad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir". [Al-Fath:29]

Ketegasan sikap yang terhadap dalam firman Allah memilki saat dan tempat tersendiri sebagaimana telah di jelaskan di muka, bahwa tempatnya adalah pada urutan ketiga, bukan urutan pertama.karena orang yang tidak mau menerimaajakan masuk islam,pada tahapan pertama;dan tidak menghiraukan peringatan, urutan kedua;berarti dia adalah orang yang enggan menerima kebenaran dan berlaku semena-mena terhadap makhluk,maka dia berhak mendapatkan sikap keras ini. Dan dalam sikap keras terhadap pelajaran bagi orang-orang yang lain. Bukankah Allah Azza wa Jalla berfirman:
"Artinya : Maka cerai-beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran" [Al-Anfal : 57]

Begitulah, sikap keras ini juga mengandung pembelajaran tentang rahmat(kasih-sayang),supaya orang-orang yang sombong itu berhenti dari kesombongannya.karena pelajaranbagi mereka sudah cukup untuk mendidik jiwa.

Untuk memperjelas, saya bawakan permisalan,dan permisalan yang paling tinggi hanyalah milik Allah.Tidakkah anda perhatikan, saat Anda mengajari anak Anda dan mendidiknya; jika ia gagal, Anda membirikan peringatan. jika dia tetap dalam keadaannya,maka anda akan memukulnya.

Ya, itu memang sebuah pemukulan yang menyakitkan,akan tetapi, (hal) itu untuk tujuan pendidikan, bukan pukulan yang mengandung dendam, tetapi, sebuah pukulan yang mengandung kebaikan. Begitu pula sikap keras dalam islam, dia memilikisaat dan tempat tersendiri yang mengandung kasih saying dan sebagi realisasi dari firman Allah:
"Artinya : Dan tidaklah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam" [Al-Anbiya :107]

Akhirnya, saya memohon kepada Allah, agar menjadikan kita sebagai orang-orang yang penyayang dan menjadi orang-orang yang mendapatkan kasih saying, menjadi orang yang mengajak manusia menuju kitab Allah, menjadi orang yang senantiasa mengikuti Sunnah Rasulullah, (menjadi) orang yang berpegang teguh dengan tali Allah, menjadi orang yang tanduk kepada tauhidnya.Sesungguhnya Allah Maha Kuasa untukmelakukan itu semua.

Washallahu’ala NabiyinaMuhammad wa’ala aalihi wa shahbihi ajma’in.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 01/Tahun X/1427H/1426. Diambil dari Muhadharah Syaikh Oleh Syaikh Ali bin Hasan bin Ali bin Abdul Hamid Al-Halabi, di Masjid Istiqlal Jakarta, Ahad 19 Februari 2006 dan disadur dari: http://www.almanhaj.or.id]